Oleh : Naftali Edoway,
Bagai petir di siang bolong, demikian
munculnya ide pameran keberhasilan Otsus di Jakarta. Rakyat Papua yang telah
menyatakan Otsus gagal kaget lalu bertanya, keberhasilan apa yang mau
dipamerkan? mengapa harus di Jakarta? Bukankah itu memboroskan uang
pembangunan? Tidak bisakah pemerintah pusat diundang ke Papua saja? dll.
Protes pun dilayangkan oleh berbagai
elemen masyarakat Papua bahkan secara individu lewat media cetak, radio dan
media online kepada pemerintah Propinsi.
Banyak kalangan juga menilai bahwa
pameran keberhasilan Otsus di Jakarta itu tidak fair jika tidak melibatkan
rakyat yang nota bene telah menyatakan Otsus gagal. Rakyat juga menilai bahwa
pameran itu tak memberi manfaat bagi orang Papua.
Namun demikian, pemprov memilih diam,
mereka bahkan bersiap diri untuk menyukseskan rencana kegiatan itu.
Apa kata Masyarakat, Pimpinan Gereja,
Para Elit dan Pengamat?
Kritik yang pertama disampaikan oleh
Pdt. Herman Awom salah satu anggota Presidium Dewan Papua (PDP). Menurutnya,
sangat bermartabat dan terpuji jika Pameran Otsus dilakukan di Papua supaya
orang Papua yang merasakan, menikmati dan yang tidak menikmati itu sama-sama
hadir melihat pameran itu (http://tabloidjubi.com/?p=13575)
Selanjut, Ketua Wirya Karya Provinsi
Papua, Denny Patty berpendapat bahwa sebaiknya Pameran Otsus dilaksanakan di
Papua. Sebab masyarakat Papua tidak akan tahu keberhasilan Otsus sampai dimana.
Bahkan jika itu dilakukan di Jakarta akan menghabiskan banyak dana, sehingga
akan lebih baik bila dilakukan di Jayapura,yakni di Expo perumnas I yang sudah dibangun
Pemerintah (http://tabloidjubi.com/?p=16195).
Kemudian, Lamadi de Lamato Direktur La
Keda Institute menyatakan pameran Otsus hendaknya berimbang. Katanya, Banyak
masyarakat mempunyai data bahwa Otsus ini gagal, hal ini penting untuk
diakomodir karena Papua ini harus dikelola bukan saja dengan model-model lips
service atau Asal Bapak Senang tapi harus dikelola oleh seluruh elemen itu,
kemudian dibuka seluas mungkin sehingga publik mengetahui sejauhmana
kebaikan dan kemajuan Otsus dan titik-titik kelemahannya. (http://tabloidjubi.com/?p=16025).
Ketua MRP Timotius Murib pun angkat
bicara. Menurutnya, Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua belum berjalan secara
maksimal, karena rakyat hanya bisa mendengar jumlah dana triliunan rupiah yang
datang ke Papua, tetapi belum merasakan dampaknya secara baik, sehingga
pelaksanaan pameran Otsus juga harus menampilkan kegagalannya. Ia juga
menyampaikan bahwa pameran Otsus di Jakarta itu pemborosan anggaran rakyat. (http://tabloidjubi.com/?p=16240&fb_source=pubv1)
Kritikan berikutnya disampaikan oleh
warga masyarakat melalui dialog publik yang diselenggarakan oleh pro satu RRI
Jayapura pada Senin18 Maret 2013. Banyak penelpon yang menolak kegiatan ini
dilakukan di Jakarta dan mengusulkan supaya dilakukan di Jayapura. Misalnya,
Monce dari Ifar Gunung Sentani. Ia tidak setuju pameran Otsus di Jakarta,
karena pelaku dari otsus ada di Papua. “Bukan menghambur-hamburkan uang rakyat
sampai ke Jakarta. (http://tabloidjubi.com/?p=16262)
Berikutnya, kritik datang dari Yan
Mandenas Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPRP. Dia berpendapat bahwa Jika memang
mau menyelenggarakan pameran otsus, tempatnya bukan di Jakarta tapi di Papua,
biar semua pihak bisa datang melihat langsung kondisi Papua selama pelaksanaan
otsus. “Orang Jakarta mana tau indicator keberhasilan Papua, jadi seharusnya
dilaksanakan di Papua agar mereka bisa datang dan melihat kondisi riilnya.
Pemerintah mestinya menjadi mediator untuk terselenggaranya dialog
Papua-Jakarta, agar situasi damai di Papua benar-benar dapat diwujudkan. Namun
yang terjadi, pemerintah malah malas tau, sambungnya. (http://bintangpapua.com/index.php/lain-lain/k2-information/halaman-utama/item/2788-otsus-harusnya-dievaluasi-bukan-dipamerankan
Direktur LP3BH Manokwari, Yan Cristian
Warinussy juga ikut mengomentari rencana kegiatan yang hendak dibuat Pemda di
Jakarta itu. Katanya, tindakan tersebut juga bisa dikatakan inkonstitusional
dengan melanggar secara substansial pasal 78 Undang Undang Nomor 21 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua sebagaiman dirubah dalam Undang
Undang Nomor 35 Tahun 2008. Kenapa demikian? Karena, sekali lagi perlu diingat
dan disadari sungguh oleh Pjs.Gubernur Papua Drh.Constan Karma dan Gubernur
Papua Barat Abraham Octavianus Atururi bahwa mandat untuk melakukan evaluasi
total atas penyelenggaraan kebijakan Otonomi Khusus yang diberlakukan dengan
kedua undang- undang negara tersebut diatas adalah di tangan seluruh elemen
rakyat Papua baik di Propinsi Papua maupun Papua Barat. (http://tabloidjubi.com/?p=17061)
Sementara Para Pimpinan Gereja dalam
jumpa pers yang dilakukan pada 6 Maret 2013 pun menolak rencana pameran Otsus
di Jakarta itu. Ketua Sinode Kingmi Papua, pendeta Benny Giay mengatakan,
keberhasilan Otsus yang hendak di pemerkan oleh Pemerintah Papua adalah
keberhasilan pemekaran Provinsi, pemekaran kabupaten tanpa pelibatan
masyarakat. Keberhasilan lain adalah memamerkan kasus korupsi yang tidak
terungkap ke permukaan. Pada waktu yang sama, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat
Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socrates Sofyan Yoman menuturkan,
pameran yang hendak dilakukan adalah bargening politik. Karena, Otsus Papua
lahir atas tuntutan ‘Papua Merdeka.’ Sebaiknya pemerintah tak melakukan pameran
Otsus karena Presiden Susilo Bambang Yudoyono sendiri telah mengakui Otsus
Papua gagal. Pemerintah Amerika Serikat juga mengakui kegagalan Otsus. (http://tabloidjubi.com/?p=16195)
Pernyataan gagalnya Otsus juga
disampaikan oleh Walikota Jayapura Benhur Tomi Mano. Jujur saya katakan,
saya tidak melihat hasil yang nampak atas pelaksanaan Otsus di Kota Jayapura,
tidak ada. Kemungkinan rencana evaluasi Otsus yang akan diselenggarakan, Kota
Jayapura mungkin akan membawa gambar atau foto saja, bahkan grafik. Sebab tidak
ada seperti pembangunan rumah atau pemberian fasilitas di Kota Jayapura
menggunakan dana Otsus. “Kita akan bawa apa ke pameran di Jakarta nanti,
mungkin grafik-grafikkah dibawa kesana. (http://tabloidjubi.com/?p=15431).
Walaupun rakyat bahkan beberapa elit di
tanah Papua tidak sepaham dengan ide ini, namun Pemerintah propinsi tetap akan
melakukan kegiatan itu. Lalu kita bertanya, Mengapa Pemerintah propinsi tetap
berniat menyelenggarakan kegiatan itu? Bagi saya ada dua hal:
Upaya Jakarta Menghidari Kritik
Pendonor
Hal yang bisa kita garis bawahi dari
proses ini adalah pernyataan dari para pimpinan gereja di Tanah Papua diatas.
Mereka menyatakan bahwa dalam pertemuan mereka dengan para petinggi negara
(dalam dan luar) di Jakarta, pemerintah Jakarta bahkan duta besar Amerika,
Inggris, dll telah mengakui bahwa Otsus gagal dilaksanakan di Tanah Papua.
Perluh diketahui bahwa Amerika dan
beberapa negara Eropa adalah donatur tetap penyuplai dana pembangunan di Papua
dan dana Otsus adalah salah satunya. Ketika Otsus dinyatakan gagal, otomatis negara-negara
donor itu meminta pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia. Pertanyaannya,
apakah negara sudah mempertanggungjawabkan itu kepada para donor ini?
Setahu saya, sampai saat ini negara belum
mempertanggungjawabkan keberhasilan pelaksanaan Otsus di Papua. Para donor ini
justru disuguhkan suara Otsus gagal oleh rakyat Papua yang nota bene menjadi
sasaran dari Otsus itu. Melihat realitas seperti itu, otomatis para donor ini
marah (walaupun tidak dinyatakan ke publik). Wujud kemarahan para donor ini
kemudian dinyatakan dengan dukungan mereka terhadap ide rakyat Papua untuk
dialog dengan Jakarta.
Sampai disini saya menilai bahwa negara
terutama presiden SBY sedang berada dibawah tekanan luar negeri terutama oleh
negara-negara pendonor Otsus itu. Sehingga mau atau tidak pertanggungjawaban
harus diberikan. Dalam situasi itu, Pemerintah Jakarta justru mempersalahkan
pemerintah daerah. Kemudian, Jakarta juga membentuk UP4B dan memaksakan
keberadaannya di Papua walaupun ditolak masyarakat Papua. UP4B ini dibentuk
karena rasa tidak percaya Jakarta terhadap Pemerintah daerah di Papua. Saya
melihat ini semua sebagai upaya untuk menyelamatkan diri dari kritikan dan
tekanan. Karena bagi Jakarta menyelamatkan wajah negara lebih penting dari pada
menyelamatkan rakyat yang menderita akibat kekerasan struktural.
Upaya Jakarta Hambat Dialog
Jakarta-Papua
Setelah Otsus dinyatakan gagal
dilaksanakan di tanah Papua, banyak kalangan mengusulkan perlunya dialog antara
Jakarta dan Papua untuk menghidupkan ide yang sudah lama diusulkan rakyat
Papua.
Dalam Mubes rakyat bersama MRP, rakyat
Papua telah mengeluarkan 11 rekomendasi yang salah satunya adalah dialog
Jakarta-Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Proposal rakyat ini
tidak ditanggapi oleh Jakarta. Hal itu membuat para Pimpinan gereja bersama
rakyat turun ke jalan lalu mereka membacakan Deklarasi Teologia dihadapan
pimpinan dan anggota DPRP.
Kemudian, Pater Neles Tebay membuat
buku tentang dialog Jakarta-Papua serta membentuk lembaga yang diberi nama
Jaringan Damai Papua (JDP). Lalu pada 5-7 Juli 2011 JDP bersama rakyat telah
menggelar konferensi perdamaian dengan tema “Mari Kitong Bikin Papua jadi Tanah
Damai”. Akhir dari kegitan ini rakyat bersama JDP sepakat mendukung dialog
Jakarta-Papua lalu mengeluarkan sebuah deklarasi perdamaian Papua. Sebagai
tanda serius rakyat, dalam deklasi itu rakyat menunjuk Rex Rumakiek, Dr. John
Otto Ondawame, Benny Wenda, Octovianus Mote, dan Leoni Tanggahma sebagai orang-orang
yang akan mewakili mereka untuk bicara satu meja dengan Jakarta.
Namun dalam perkembangannya tak ada
keseriusan pemerintah pusat menanggapi usulan dialog rakyat Papua itu. Jakarta
justru takut dan mencurigai niat baik orang Papua itu. Kemudian untuk menghindari
ide itu, Jakarta justru mengeluarkan UP4B dan mengajak pemerintah Propinsi
Papua dan Papua Barat untuk menggelar pameran Otsus di Jakarta. Saya melihat
ini sebagai upaya Jakarta memperlambat bahkan menghidari dialog Jakarta-Papua
yang didesak oleh rakyat Papua dan dunia Internasional.
Sikap Jakarta seperti ini yang oleh Wibawanto Nugroho
menyebutkan sebagai degenertive public policies and politics in Papua.
Kebijakan publik dan pandangan-pandangan politik serta anggapan-anggapan yang
melumpuhkan dan memperburuk kondisi masyarakat Papua yang dilakukan pemerintah
Indonesia di Tanah Papua selama 50 tahun terakhir (The Jakarta Post/10/VII/12),
Naftali
Edoway adalah pemerhati masalah sosial di tanah Papua
0 komentar:
Posting Komentar