Jumat, 19 April 2013

Jangan Bebani Siswa dengan Banyak Pelajaran

Longginus Pekey, S.Pd.
Nabire, MAJALAH  SELANGKAH -- Banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa di sekolah dalam kurikulum Indonesia justru membebani siswa. Dinilai, pergantian kurikulum hampir tiap 10 tahun itu tidak mengubah esensi dari pendidikan, termasuk kurikulum 2013 ini. Ia justru merengut kebebasan individu siswa.
Hal ini dikemukakan Ketua Lembaga Pendidikan Papua, Longginus Pekey menyikapi kurikulum baru tahun 2013 dan Ujian Nasional (UN) tahun 2013, Selasa, (26/3/13) di Nabire, Papua.
Ia mengatakan, sebagai seorang pendidik sangat prihatin dengan beban berat yang harus diemban siswa dalam proses belajar di sekolah dan saat pelaksaan UN. Menurut dia, banyak pelajaran yang mestinya cukup dijadikan muatan lokal untuk meningkatkan keterampilan dan tidak perlu di-UN-kan. 
Longginus yang juga guru di Kolese Lecoq dArmandville SMA YPPK Adhi Luhur Nabire ini berbicara berdasarkan pengalamannya mendampingi siswa dalam beberapa tahun terakhir ini.
"Saya melihat  kurikulum Indonesia ini membebani siswa dengan banyak pelajaran. Kalau banyak pelajaran tentu tugas tidak dihindari. Siswa mengeluh. Lalu, pihak sekolah membatasi guru memberi tugas, padahal tugas atau latihan adalah hak guru untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan siswa,"katanya.
Kata dia, ketika semua guru pada hari yang sama memberikan tugas kepada siswa, maka beban tugas siswa sangat banyak.  Apalagi siswa harus mengikuti kegiatan lain di sekolah pada sore hari dan ia butuh sosialisasi di lingkungan sosialnya.
Untuk itu, kata dia, jika negara punya keinginan baik untuk membangun manusia maka beban pelajaran harus dikurangi. Di sekolah dasar misalnya, untuk Papua cukup hanya mengajarkan membaca, menulis, dan menghitung ditambah pendidikan dasar  tentang  pluralisme dan keanekaragaman hayati.
Lanjutnya, beberapa pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan PPKn yang selama ini di-UN-kan itu tidak perlu di-UN-kan.
"Bahasa itu soal keterampilan membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, bukan soal teori. Sama juga bahasa Inggris. Lalu, PPKn kenapa kita paksakan anak-anak untuk harus kuasai ini dan itu tanpa refleksi tentang kewarganegaraannya. Biarkan soal moral dan nilai-nilai kebangsaan ia temukan sendiri dalam proses tanpa harus diuji dalam bentuk mencari nilai,"kata alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Kata dia, pelajaran sejarah dan lainnya sebenarnya cukup muatan lokal. "Jadi, yang harus di-UN-kan adalah mata pelajaran yang sesuai jurusan.  Tapi, jurusan sudah harus dibuat sejak SMP kelas 2. Jurusan itu harus melalui tes kompetensi dan minat. Trus, di SMA siswa masih harus diuji lagi untuk masuk pada jurusan yang sesuai dengan kompetensi dan minat. Tes di SMA dilakukan lagi untuk melihat kemungkinan perubahan kompetensi dan minat,"katanya.
Dengan begitu, jelasnya, sejak awal anak itu akan ke mana sudah jelas. Apakah ia akan membangun cara berpikir sains atau sosial. Ia akan benar-benar memahami bidangnya. Tidak seperti selama ini yang setengah-setengah.
Selama ini, kata dia, pendidikan Indonesia tidak memahami beban berat yang diemban oleh siswa. Keberhasilan pendidikan hanya dilihat secara struktural. Kebebasan individu diabaikan. Pendidikan telah dirasuki  propaganda politik untuk mengikat bangsa atau persatuan.
"Selama ini bukan individu yang dinilai tetapi malah sekolah, dinas, dan menteri yang dinilai atas  kelulusan siswa. Kalau lulus  semua, kepala dinas atau menteri dianggap  sukses tanpa melihat proses di lapangan. Pendidikan yang benar adalah  tidak bicara soal institusi tetapi bicara soal individu,"katanya.
Ia juga mengungkapkan kesedihannya atas gagalnya Otonomi Khusus Papua dalam bidang pendidikan, khususnya dalam hal perubahan kurikulum di Papua sesuai konteks. "Pendidikan yang kontekstual itu untuk membuat siswa mengerti di mana dia berada dan ke mena ia akan melangkah,"tuturnya. (Yermias Degei/MS)

0 komentar:

Posting Komentar