Longginus Pekey, S.Pd. |
Nabire,
MAJALAH SELANGKAH -- Banyaknya pelajaran yang
harus dipelajari siswa di sekolah dalam kurikulum Indonesia justru membebani
siswa. Dinilai, pergantian kurikulum hampir tiap 10 tahun itu tidak mengubah
esensi dari pendidikan, termasuk kurikulum 2013 ini. Ia justru merengut
kebebasan individu siswa.
Hal ini dikemukakan Ketua Lembaga Pendidikan Papua,
Longginus Pekey menyikapi kurikulum baru tahun 2013 dan Ujian Nasional (UN) tahun
2013, Selasa, (26/3/13) di Nabire, Papua.
Ia mengatakan, sebagai seorang pendidik sangat prihatin
dengan beban berat yang harus diemban siswa dalam proses belajar di sekolah dan
saat pelaksaan UN. Menurut dia, banyak pelajaran yang mestinya cukup dijadikan
muatan lokal untuk meningkatkan keterampilan dan tidak perlu di-UN-kan.
Longginus yang juga guru di Kolese Lecoq dArmandville
SMA YPPK Adhi Luhur Nabire ini berbicara berdasarkan pengalamannya mendampingi
siswa dalam beberapa tahun terakhir ini.
"Saya
melihat kurikulum Indonesia ini
membebani siswa dengan banyak pelajaran. Kalau banyak pelajaran tentu tugas
tidak dihindari. Siswa mengeluh. Lalu, pihak sekolah membatasi guru memberi
tugas, padahal tugas atau latihan adalah hak guru untuk meningkatkan
keterampilan dan kemampuan siswa,"katanya.
Kata dia, ketika semua guru pada hari yang sama
memberikan tugas kepada siswa, maka beban tugas siswa sangat banyak. Apalagi siswa harus mengikuti kegiatan lain
di sekolah pada sore hari dan ia butuh sosialisasi di lingkungan sosialnya.
Untuk itu, kata dia, jika negara punya keinginan baik
untuk membangun manusia maka beban pelajaran harus dikurangi. Di sekolah dasar
misalnya, untuk Papua cukup hanya mengajarkan membaca, menulis, dan menghitung
ditambah pendidikan dasar tentang pluralisme dan keanekaragaman hayati.
Lanjutnya, beberapa pelajaran umum seperti Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, dan PPKn yang selama ini di-UN-kan itu tidak perlu
di-UN-kan.
"Bahasa itu soal keterampilan membaca, menulis,
berbicara, mendengarkan, bukan soal teori. Sama juga bahasa Inggris. Lalu, PPKn
kenapa kita paksakan anak-anak untuk harus kuasai ini dan itu tanpa refleksi
tentang kewarganegaraannya. Biarkan soal moral dan nilai-nilai kebangsaan ia
temukan sendiri dalam proses tanpa harus diuji dalam bentuk mencari nilai,"kata
alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Kata dia, pelajaran sejarah dan lainnya sebenarnya
cukup muatan lokal. "Jadi, yang harus di-UN-kan adalah mata pelajaran yang
sesuai jurusan. Tapi, jurusan sudah
harus dibuat sejak SMP kelas 2. Jurusan itu harus melalui tes kompetensi dan
minat. Trus, di SMA siswa masih harus diuji lagi untuk masuk pada jurusan yang
sesuai dengan kompetensi dan minat. Tes di SMA dilakukan lagi untuk melihat
kemungkinan perubahan kompetensi dan minat,"katanya.
Dengan begitu, jelasnya, sejak awal anak itu akan ke
mana sudah jelas. Apakah ia akan membangun cara berpikir sains atau sosial. Ia
akan benar-benar memahami bidangnya. Tidak seperti selama ini yang
setengah-setengah.
Selama
ini, kata dia, pendidikan Indonesia tidak memahami beban berat yang diemban
oleh siswa. Keberhasilan pendidikan hanya dilihat secara struktural. Kebebasan
individu diabaikan. Pendidikan telah dirasuki
propaganda politik untuk mengikat bangsa atau persatuan.
"Selama ini bukan individu
yang dinilai tetapi malah sekolah, dinas, dan menteri yang dinilai atas kelulusan siswa. Kalau lulus semua, kepala dinas atau menteri
dianggap sukses tanpa melihat proses di
lapangan. Pendidikan yang benar adalah
tidak bicara soal institusi tetapi bicara soal individu,"katanya.
Ia juga mengungkapkan
kesedihannya atas gagalnya Otonomi Khusus Papua dalam bidang pendidikan,
khususnya dalam hal perubahan kurikulum di Papua sesuai konteks. "Pendidikan
yang kontekstual itu untuk membuat siswa mengerti di mana dia berada dan ke
mena ia akan melangkah,"tuturnya. (Yermias Degei/MS)
0 komentar:
Posting Komentar